Siapakah
KH. Achmad Sjaichu dan Apa perannya ?
KH. Achmad Sjaichu dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada hari
Selasa Wage, 29 Juni 1921. Beliau putra bungsu dari dua bersaudara putra
pasangan H. Abdul Chamid dan Ny. Hj. Fatimah. Pada usia 2 tahun Sjaichu sudah
yatim, ditinggal wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Achmad Sjaichu
bersama kakaknya , Achmad Rifa’i, diasuh oleh ibunya dengan tekun dan tabah.
Untuk memperoleh pendidikan agama, Sjaichu belajar kepada K. Said, guru mengaji
bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun Sjaichu sudah
menghatamkan Al-Qur’an 30 Juz.
Selain belajar agama, Sjaichu juga menempuh pendidikan di Sekolah
Rakyat Mardi Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Tak lama
belajar di sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, Sjaichu dipindah ke
Madrasah Taswirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh KH. Abdul Wahab
Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan Achyat. Madrasah ini kemudian
dikenal sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama.
Untuk membantu meringankan beban ibunya yang harus menghidupi
putra-putranya, setelah H. Abdul Manan wafat, pada usia kanak-kanak Sjaichu
sudah sudah mulai bekerja di perusahaan sepatu milik Pak Denya, Mohammad Zein
bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.
Sjaichu kembali kebangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja
dan memiliki bekal yang relatif cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan,
sebuah lembaga pendidikan yang juga didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Sambil belajar, Sjaichu kembali bekerja pada seorang tukang jahit kenamaan di
Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul Wathan ia dibimbing seorang guru yang
kemudian sangat mempengaruhi perkembangan Sjaichu, yaitu KH. Abdullah Ubaid.
Selain itu ia juga berguru kepada KH. Ghufron untuk belajar ilmu Fiqh.
Tahun 1937, setamat Sjaichu dari Nahdlatul Wathan, Ny. Fatimah
yang sudah dua kali menjanda diperistri seorang ulama besar yang juga pendiri
Nahdlatul Wathan, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah. Di bawah bimbingan ayah
tirinya itulah Sjaichu berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya
mulai tumbuh.
Sekolah sambil bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda
Sjaichu. Setamat dari Nadlatul Wathan, Sjaichu kembali bekerja di bengkel
Marina milik Angkatan Laut. Selama bekerja dibengkel itu, ia melakukan kegiatan
dakwah di lingkungan kawan-kawan sekerja.
Setahun kemudian, 1938, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan
Sjaichu ke Pesantren Al-Hidayah, Lasem asuhan KH. Ma’shum. Selama di pesantren
ini, pemuda Sjaichu menjadi santri kesayangan Mbah Ma’sum. Sesudah 3 tahun
belajar di Lasem, Sjaichu terpaksa harus boyong ke Surabaya, karena ia
terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.
Pada tanggal 5 Januari 1945, pada usia 24 tahun, Sjaichu
mempersunting Solchah, putri Mohamad Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling
yang pernah menjadi majikannya. Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry
sepatu di rumahnya, dengan 15 orang karyawan. Sjaichu sendiri yang memasarkan
ke seantero Surabaya. Sambil berdagang, ia juga aktif mengajar bahasa Arab dan
Inggris kepada beberapa pemuda yang sering datang ke rumahnya. Dari Ny.
Solchah, KH. Achmad Sjaichu dikaruniai 10 putra-putri, 2 diantaranya meninggal
ketika masih bayi. Kedelapan putra-putri yang ada, yaitu Ny. Mariyam Chairiyah,
Imam Susanto, Mohamad Sucahyo, Zainul Mujahidin, Rachmawati, Zubaidah, Faridah,
dan Achmad Fauzi.
Ketika terjadi penyerbuan tentara sekutu ke kota Surabaya, ia bersama
istrinya mengungsi ke Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman,
ia pulang ke kota kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di
Madrasah NU. Di samping mengajar, ia juga menjadi ketua ranting NU Karang
Menjangan. Itulah awal mula Sjaichu mulai terlibat di organisasi NU. Pada
kepengurusan NU cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah
satu ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah), bersama KH. Thohir Bakri, KH.
Thohir Syamsuddin dan KH. A. Fattah Yasin. Karier sjaichu di organisasi terus
menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi
Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya.
Awal tahun 1950-an ia mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah
dan bekerja di Kantor Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki
jabatan sebagai Wakil Kepala. Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke
Kantor Agama Kotapraja Surabaya.
Pada tahun 1953, Sjaichu terpilih menjadi ketua LAPANU (Lajnah
Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia
diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958
ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi NU. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak ia
menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya KH. Achmad Sjaichu mencapai puncak karier
di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU
sendiri KH. Achmad Sjaichu pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai
tahun 1979 (ketika berlangsung Muktamar NU di Semarang).
Kepemimpinan dan ketokohan KH. Achmad Sjaichu tidak hanya diakui
secara nasional, melainkan juga sampai ke level internasional. Pengakuan itu
terbukti dengan dipilihnya KH. Achmad Sjaichu sebagai presiden Dewan Pusat
Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam konferensinya yang pertama di
Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965. KH. Achmad Sjaichu yang di kenal sebagai
pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil mengembangkan misi
dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam pentas politik
internasional.
Sekian lama KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia politik, tak
menyurutkan perhatian dan minatnya dalam dunia dakwah Islamiyah. Malahan
semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah yang dijadikan motivasi dalam
keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan
dengan tanggal 31 Agustus 1978, KH. Achmad Sjaichu mendirikan organisasi yang
bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul Muballighin. Lembaga inilah yang
pada akhirnya mengantarkan KH. Achmad Sjaichu menuju terminal pengabdian
terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren. Dan Pesantren Al-Hamidiyah yang
kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi bisu yang menunjukkan
betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH. Achmad Sjaichu. Dari
pesantren juga berakhir di pesantren
Masa Sekolah
Achmad Sjaichu mula-mula di sekolahkan di sekolah Mardi Oetomo,
kemudian pindah ke Madrasah Taswirul Afkar yaitu sebuah lembaga pendidikan yang
didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan
Achyat. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai embrio NU setelah Nahdlatul
Wathan di Kawatan, Surabaya. Sjaichu belajar di sekolah ini hingga tamat, tahun
1934.
Masa remaja Sjaichu memang unik. Tamat dari Nahdlatul Wathan,
Sjaichu melamar bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut Republik
Indonesia di Surabaya. Bengkel ini melakukan pekerjaan dan menangani kapal
perang milik Angkatan Laut. Sjaichu diterima bekerja di bagian listrik. Sambil
bekerja, Sjaichu mulai melakukan dakwah kepada teman sekerja. Beberapa karyawan
bengkel Marina mendapat bimbingan shalat dan pelajaran dasar agama Islam dari
Sjaichu. Karena itu ia disenangi kawan-kawan sekerjanya. Tak lama Sjaichu
bekerja di bengkel milik Angkatan Laut itu, Sjaichu keluar.
Suatu ketika ia mengalami pengalaman spiritual yang tak bisa
dilupakan. Pada saat itu di siang hari, ketika tidur-tiduran di rumah, Sjaichu
bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad sallallahu’alaihiwa sallam di Masjid Ampel. Nabi
Muhammad, dalam gambaran mimpinya mengambil selembar tikar dan menyerahkan
kepada Sjaichu. Setelah tikar diterima, Sjaichu membentangkan tikar tersebut di
depannya, dan Rasulullah naik ke mimbar menyampaikan khutbah. Saat itulah
Sjaichu terjaga dari tidurnya.
Pengalaman mimpinya diceritakan kepada ayah tirinya, KH. Wahab
Chasbullah. Kepada ayahnya itu ia juga minta izin untuk berhenti bekerja dari
bengkel Marina. Saya ingin belajar dan mengaji lagi untuk memperdalam
pengetahuan agama, Ayah, kata Sjaichu memohon.K.H. Wahab menyetujui dan
menyarankan agar ia mondok ke Lasem, berguru kepada K.H. Ma’shum yang lebih dikenal
dengan sebutan Mbah Ma’shum.
Tahun 1938 Sjaichu dikirim ke Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem,
Rembang dan langsung diterima dengan tangan terbuka oleh Mbah Ma’shum
(Almaghfurlahu). Mbah ma’shum merasa mendapat titipan dari orang yang selama
ini disegani, KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Selama nyantri di Pesantren Al-Hidayah, Sjaichu
tergolong santri yang disayang Mbah Ma’shum. Bukan hanya karena ia putera
tirinya KH. Wahab Chasbullah, tetapi kesungguhan belajar dan penampilan Sjaichu
yang kalem namun meyakinkan itu, berhasil menarik perhatian khusus gurunya. Ketika
para santri memilih Lurah Pondok (mungkin sekarang semacam ketua Osis, red),
Sjaichu menjadi santri yang dipilih. Disinilah sosok kepemimpinan sjaichu mulai
tampak. Sjaichu merasa beruntung sekali menjadi santrinya Mbah Ma’shum saat
itu. Ke mana gurunya pergi, Sjaichu diajak serta. Shalat, merupakan tema yang
memperoleh perhatian dan tekanan tersendiri bagi Mbah Ma’shum dalam setiap
ceramahnya. Kaum muslimin bisa memperoleh kehidupan dengan baik dan maju, jika
menjalani kehidupan berlandaskan shalat yang dilaksanakan secara disiplin. Pernyataan
itu sering disampaikan Mbah Ma’shum dalam ceramahnya.
Karir
a.
Merintis Home Industri Sepatu
Selesai mondok dari Lasem, Sjaichu mulai terlihat arif dan penuh
semangat untuk berjuang li’ilai kalimatillah hiyal ulya. Sambil mengamalkan
ilmu yang diperoleh dengan menjadi guru, Sjaichu membuka usaha toko sepatu di
Kedung Rukem, sebelah selatan Pasar Blawuran. Sebagai modal awal, ia mendapat
pinjaman dari kakeknya, H. Fadlun. Toko sepatu yang dirintis itu berkembang
dengan pesat. Sepatu-sepatu yang dijual adalah produksi sendiri, yang
dikerjakan Sjaichu bersama-sama karyawannya. Dulu, sebelum berangkat ke
pesantren, ia pernah belajar membuat sepatu, juga belajar menjahit.
Pada 5 Januari 1945, dalam usia 24 tahun, Sjaichu mempersunting
gadis dari Kedung Tarukan, Pacar Keling, Surabaya. Gadis itu Solchah, adalah
puteri Muhammad Yasin, penjahit kondang di Pacar Keling, bekas majikannya
dahulu. Bersama Solchah, Sjaichu mengembangkan Home Industri sepatunya.
Ada sekitar 15 karyawan bekerja membantu usahanya. Sedang Sjaichu, selain ikut
bekerja secara teknis, juga tak henti-hentinya berusaha membuka akses pasar,
khususnya di wilayah Surabaya.
Usaha dagang sepatu agaknya bukan tujuan utamanya. Pekerjaan itu
hanya berfungsi sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Tradisi
musafir pencari
ilmu di Pesantren tetap saja berkobar di benak Sjaichu. Di sela-sela
kesibukannya berdagang sepatu, ia menyempatkan diri mengajar bahasa Arab dan
bahasa Inggris kepada pemuda-pemuda Surabaya yang rajin datang ke rumahnya.
Kursus bahasa ini masih juga dikenang oleh banyak orang di Surabaya.
b.
Mendirikan PGPS di Bangil
Ketika Surabaya mulai berkecamuk, terutama menjelang pertempuran
10 November 1945, nama Sjaichu memang tak dikenal di kalangan Laskar Hizbullah
atau Barisan Sabilillah. Namun, saat itu Sjaichu bergabung dengan pemuda
Surabaya.
Ketika Surabaya bergejolak dan terjadi agresi militer Belanda pada
tahun 1947, pemuda Surabaya banyak yang hijrah ke daerah lain, termasuk
Sjaichu. Waktu itu, Sjaichu mengungsi ke Waru, Sidoarjo bersama istrinya,
Solchah yang sedang hamil 7 bulan untuk puteri pertamanya. Selama di sana,
ia ditampung di rumah pak Abdullah, kenalannya yang menjadi pemasok kulit
kambing dan sapi ketika Sjaichu membuat dan berdagang sepatu. Baru beberapa
saat di Waru, Belanda sudah merambah dan menghujani kota itu dengan bom dan
meriam. Terpaksa Sjaichu mundur lagi, dan bersama istrinya yang hamil tua
menuju Bangil, Pasuruan.
Sesampainya di Bangil, Sjaichu berjumpa dengan Farchan Ali, pemuda
pemberani asal Boto Putih, Surabaya. Mula-mula ia bergabung ke dalam Barisan
Pemuda Surabaya (BPS). Bersama Farchan Ali, Sjaichu mengadakan pertemuan
intensif dengan beberapa pemuda lain yang berada di Bangil. Atas prakarsa
mereka berdua, dibentuklah Persatuan Gabungan Perjuangan Surabaya (PGPS) yang
bermarkas di Bangil. Farchan ditunjuk sebagai ketuanya, sedangkan Sjaichu
sebagai wakilnya. Dibentuknya PGPS ini bertujuan untuk mengkoordinasi pemberian
bantuan tenaga terlatih yang siap berjuang dan bertempur di Surabaya.
Kegiatan PGPS yang sesungguhnya waktu itu adalah latihan ala
militer bagi pemuda pejuang yang akan bergabung ke dalam barisan tentara
militer. Pada sore dan malam hari, mereka dilatih baris berbaris dan cara
menggunakan senjata. Mereka digabungkan ke dalam tentara nasional yang berpusat
di Mojosari, Mojokerto, di bawah komando Mayor Isa Idris (almarhum) dari divisi
Brawijaya.
Pada bulan Juli 1947, setelah bergerak selama satu setengah tahun,
PGPS dibubarkan karena kota Bangil diserbu tentara Belanda. Anggota PGPS banyak
yang ditangkap, sebagian ditawan, dan sebagian lagi ditembak mati oleh
Belanda. Ketika berada dalam pengungsian di Bangil, tanggal 2 Februari
1946, lahirlah puteri pertama Sjaichu-Solchah, seorang bayi mungil yang cantik.
Puteri itu diberi nama Maryam Chairiyah.
c.
Mulai dari Ranting Nahdlatul Ulama
(NU) Karang Menjangan
Tahun 1948, situasi kota Surabaya sudah benar-benar aman.Sekembalinya
dari tempat pengungsian, Sjaichu mengajar selama dua tahun di Madrasah NU yang
didirikan oleh KH. Romli di Karang Menjangan. Cita-cita menjadi seorang
tokoh dan pemimpin mulai jelas sejak ia mengabdikan diri menjadi guru di
Madrasah NU. Saya ingin menjadi tokoh, saya ingin memimpin, pikirnya
menerawang. Sejak itu, Sjaichu mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan NU.
Pengalaman memimpin organisasi NU dimulai dari bawah sekali. Mula-mula ia
menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan, suatu jabatan struktur paling bawah
dalam NU.
Memasuki tahun 1950, sambil aktif di organisasi, Sjaichu
mendaftarkan diri untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia diterima di kantor
Pengadilan Agama Surabaya dan menjabat sebagai Wakil Kepala. Hanya setahun
bekerja di Pengadilan Agama, tugasnya dipindah ke Kantor Agama Kotapraja
Surabaya. Di sini ia bekerja hingga tahun 1953. Setelah itu ia ditarik ke
kantor Departemen Agama Wilayah di bagian kepenghuluan samapai tahun
1956. Disamping menjadi pegawai Departemen Agama, Sjaichu tetap aktif di
organisasi.
Karir Sjaichu di organisasi rupanya meningkat cukup cepat. Dalam
waktu relatif singkat, nama Sjaichu mulai dikenal dikalangan tokoh-tokoh NU
Surabaya. Pada periodeisasi NU Surabaya tahun 1948 1950, Sjaichu
terpilih sebagai Ketua Umum Konferensi, yang bertugas khusus merancang
penyelenggaraan konferensi. Selain itu, ia juga terpilih sebagai salah satu
Ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah). Sederat dengan nama KH. Thohir Bakri,
KH. Thohir Sjamsuddin, dan KH. A. Fattah Jasin.
Masih segar dalam ingatan warga NU Surabaya, bahwa pada Konferensi
II NU Cabang Surabaya, tanggal 16-17 Desember 1950, tokoh muda NU, Achmad
Sjaichu tampil di depan podium (sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan NU),
menguraikan perjalanan NU Cabang Surabaya. Di sinilah nama Sjaichu mulai
dikenal di kalangan luas, terutama kalangan warga NU. Pada tahun itu pula,
Sjaichu ditunjuk sebagai anggota DPRDS Kota Besar Surabaya. Karir Sjaichu
sebagai politisi, dirintis dari sini.
Nama Sjaichu kian populer. Setelah NU berpisah dari Masyumi dan
berdiri sebagai parpol, ketokohan Sjaichu semakin mencuat. Pada tahun 1953, ia
terpilih sebagai Ketua LAPANU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa
Timur. Berarti, Sjaichu sudah meninggalkan kepengurusan Cabang Surabaya dan
mulai naik ke tingkat Provinsi.
Sebagai ketua LAPANU, peran Sjaichu semakin luas dan strategis.
Bukan saja harus berhubungan dengan Pemerintah Daerah, melainkan juga
berhubungan dengan pengurus NU di Ibu Kota. Hampir semua tokoh NU di Jawa Timur
kala itu hanya mengenal Sjiachu sebagai pemimpin NU.
d.
Menjadi Ketua DPRGR RI
Menjelang Pemilu pertama, tanggal 29 September 1955, seluruh
kontestan sibuk melaksanakan kampanye. Achmad Sjaichu sebagai ketua
LAPANU tak henti-hentinya berkeliling daerah mengadakan kampanye. Dan benar,
hasil pemilu 1955 cukup mengejutkan, partai NU dinyatakan sukses dan keluar
sebagai the
big four.
Nama Sjaichu kala itu tercantum sebagai calon anggota DPR (bersama
Abdul Aziz Diyar) dari daerah pemilihan Jawa Timur. Karena terpilih sebagai
anggota DPR, pada awal tahun 1956, Sjaichu resmi pindah ke Jakarta.
Di Jakarta karir politiknya kian melangit, dan pada rapat fraksi
NU tanggal 25 November 1958, Achmad Sjaichu terpilih sebagai Ketua Fraksi NU dalam
DPR RI periode 1958-1960. Selama di Jakarta dan menjadi anggota DPR RI, Achmad
Sjaichu telah “mengaji politik lewat kejadian-kejadian penting, mulai dari
pembentukan kabinet setelah pemilu, sampai ke soal sidang Konstituante.
Bagi Sjaichu, dari pemilu 1955 inilah ia akhirnya naik ke pentas
politik nasional. Sebab, sejak itulah ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari
partai NU. Dari anggota DPR inilah ia akhirnya bisa dengan lancar menapakkan
karir politiknya di parlemen Indonesia. Misalnya, setahun setelah
menjadi anggopta DPR, ia pun segera naik menjadi Ketua Fraksi NU di tahun 1957.
Bahkan Achmad Sjaichu akhirnya sampai meraih puncak karir di parlemen, setelah
ia terpilih menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966, setelah 15 tahun berkecimpung
di DPR.
e.
Sebagai Ketua PBNU, anggota
Rabithah Alam Islamy, dan anggota Dewan Masjid se Dunia
Sebagai anak tiri pendiri NU, Achmad Sjaichu banyak mendapat kemudahan
dalam karirnya kemudian. Pada tahun 1950, ia terpilih menjadi anggota dewan
kota Surabaya, pada tahun 1955 menjadi anggota parlemen nasional sebagai wakil
NU Jawa Timur. Memimpin kelompok NU di perlemen selama tahun 1958-1960, ia terpilih
menjadi wakil ketua parlemen dari tahun 1963-1966. Kemudian ia dipilih kembali
menjadi anggota parlemen dalam pemilu tahun 1971.
Pertama kali menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU pada tahun 1957,
dan dari tahun 1977-1979 menjabat sebagai Ketua PBNU. Setelah mengundurkan diri
dari politik, H. Achmad Sjaichu beralih ke aktivitas-aktivitas dakwah, melalui
sebuah organisasi baru, Ittihadul Mubalighin yang didirikan pada tahun 1978,
dan sejak saat itu dia menjadi ketuanya.
Dari semua politisi NU, tidak diragukan lagi H. Achmad Sjaichu
adalah orang yang mempunyai kontak internasional dengan dunia muslim. Ia lama
menjabat sebagai birokrat internasional. Dialah yang mengambil prakarsa
mengorganisir Konferensi Islam Asia Afrika, yang akhirnya diselenggarakan pada
tahun 1965, dia juga menjadi Presiden Organisasi Islam Asia-Afrika yang lahir
dari konferensi tersebut dan terus berlanjut pada tahun 1973. Sejak saat
itu H. Achmad Sjaichu aktif dalam organisasi Rabithah al-Alam al-Islami
(Liga dunia Islam) dan Dewan Tertinggi Masjid Dunia di Makkah.
f.
Membangun Solidaritas Umat di
Kawasan Asia Afrika
Mempersatukan umat di kawasan Asia “Afrika?Kenapa tidak, pikir H.
Achmad Sjaichu. Pikiran itu terus menggodanya sejak berlangsung Konferensi
Asia-Afrika di Bandung, tanggal 18-25 April 1955. Mempersatukan umat
Islam Asia-Afrika bukan dalam pengertian politik, melainkan dalam himmah, dalam
solidaritas, atau ukhuwah Islamiyah.
Pikiran semacam itu memang bukan hanya monopili H. Achmad Sjaichu.
Beberapa tokoh Islam lain juga punya gagasan yang sama. Mereka sama-sama
mendambakan bangkitnya persatuan umat Islam, setelah sekian lama dunia Islam hidup
di bawah kekuasaan koloni. Imperalisme dan kolonialisme merupakan dua kata dan
tragedi dunia yang dirasakan amat menyayat hati bangsa-bangsa di beberapa
negara berkembang saat itu. Pikiran H. Achmad Sjaichu mengenai persatuan umat
Islam Asia-Afrika dalam dataran peta politik dalam negeri mendapat peluang
bagus. Sebab, penggalangan solidaritas politik Asia-Afrika mendapat prioritas
tinggi di dalam politik luar negeri Indonesia waktu itu.
Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung tahun
1955 rupanya menjadi tonggak penting bagi bangkitnya Islam di Indonesia dan
negara-negara Islam di Asia-Afrika. Konferensi itu ikut mendekatkan ide H. Achmad
Sjaichu menjadi kenyataan. Sebagaimana diketahui, konferensi Asia-Afrika
merupakan embrio dari Konferensi Islam Asia-Afrika yang diselenggarakan di
Bandung tanggal 6-14 Maret 1965.
Melalui konferensi ini lahirlah Organisasi Islam Asia-Afrika
(OIAA). H. Achmad Sjaichu dalam konferensi Islam Asia-Afrika dipercaya menjadi
Sekretaris Jenderal. Demikian pula ketika KIAA membentuk OIAA, Beliau dipilih
sebagai Presiden Dewan Pusat OIAA dan dikukuhkan oleh Presiden Soekarno. H.
Achmad Sjaichu sendiri tidak tahu mengapa ia yang dipilih sebagai Presiden
OIAA. Tapi, menurut kawan seperjuangannya bahwa technical
skill yang dibutuhkan bagi seorang yang memimpin organisasi
level Internasional sudah dikantongi H. Achmad Sjaichu. Di samping kemampuan
berbahasa asing, beliau juga dikenal pintar mengadakan lobbi.
g.
Mendirikan Ittihadul Muballighin
Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31
Agustus 1978, sekitar 100 orang berkumpul di Pondok Pesantren At-Thahiriyah,
Jakarta Selatan. Mereka ada yang datang dari Singapura, ada para muballigh yang
berkumpul untuk mengadakan reuni. Sjaichu ikut serta dalam pertemuan itu.
Di akhir pertemuan, para muballigh yang hadir menyepakati dibentuknya sebuah
lembaga dakwah independen yang diberi nama Ittihadul Muballighin (Persatuan
para Muballigh). H. Achmad Sjaichu, sang pemberi nama tersebut ditunjuk secara
aklamasi sebagai pemimpinnya.
Melalui Ittihadul Muballighin, H. Achmad Sjaichu bisa menyalurkan
dua aspek sekaligus. Pertama, kebiasaan dan tradisi hidup dalam tatanan
organisasi. Kedua, merealisasikan idenya untuk meningkatkan kualitas hidup
ummat melalui kegiatan dakwah. Aspek yang terakhir ini merupakan obsesi lama
yang tertunda oleh berbagai kesibukan politik H. Achmad Sjaichu.
Dunia dakwah bukan dunia baru sama sekali bagi H. Achmad Sjaichu.
Kegiatan di OIAA dan aktivitas dalam organisasi internasional sebetulnya juga
merupakan implementasi kegiatan dakwah, meskipun dalam skala makro dan tidak
bersifat praktis, terlebih ketika di Nahdlatul Ulama (NU). Berbekal pengalaman
organisasi selama di DPRGR, OIAA, maupun di NU, H. Achmad Sjaichu tidak
mengalami kesulitan mengelola Ittihadul Muballighin. Beliau mendapat dukungan
penuh dari kawan-kawannya yang berprofesi sebagai da’i untuk memimpin selama
tiga periode.
Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan Sjaichu pada
terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia pesantren. Sebuah terminal
yang tidak semua orang, lebih-lebih kaum politisi bisa menggapainya. Beliau
menjadi seorang Kyai dengan ratusan santri. Ia memangku Pesantren
Al-Hamidiyah di Depok. Inilah maqom terakhir dari episode perjalanan hidup H.
Achmad Sjaichu, sebuah akhir perjalanan panjang yang nyaman.
Kembali ke pesantren
Mendirikan pesantren untuk mengembangkan dakwah Islamiyah
merupakan salah satu cita-cita luhur KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Sebagai
orang yang sejak kecil hidup dan dididik di lingkungan pesantren, wajar saja
jika KH. Achmad Sjaichu bercita-cita untuk mendirikan sekaligus mengasuh
pesantren. Siapakah KH. Achmad Sjaichu, pendiri dan pengasuh Pesantren
Al-Hamidiyah ini ?
Nahdlatul Ulama (NU) Politik Dakwah, agaknya merupakan fase
perjalanan hidup yang dilalui KH. Achmad Sjachu selama kurun waktu 1950 1980.
Ittihadul Muballighin didirikan KH. Achmad Sjaichu untuk mengartikulasikan
keinginannya yang besar dalam menangani kegiatan dakwah secara terkoordnasi,
setelah ia tidak lagi sibuk dengan urusan organisasi dan politik. Berdirinya
lembaga ini, mengawali fese ketiga, fase dakwah, dari kehidupan Sjaichu.
Kegiatan dakwah yang dikendalikan melalui Ittihadul Muballighin
ini ternyata bukan merupakan fase terakhir yang dilalui KH. Achmad Sjaichu.
Masih ada satu fase lagi, dan itu yang diharapkan KH. Achmad Sjaichu bisa
menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya. Mendirikan pesantren, dan
langsung menjadi pengasuh bagi banyak santri, itulah fase terakhir yang
dimaksud. Sjaichu agaknya menginginkan gelar kiai yang selama ini menempel pada
namanya benar-benar fungsional.
Cita-cita untuk mendirikan pesantren juga sejalan dengan sasaran
dari kegiatan praktis dakwah yang dilaksanakan melalui Ittihadul Muballighin
selama ini. Melalui pesantren, ia ingin mengkader dai yang berwawasan luas dan
memiliki kedalaman ilmu.
Para juru dakwah selama ini melakukan dakwah Islamiyah hanya
dengan mengandalkan penguasaan ilmu agama saja. Wawasannya di bidang sosial,
ekonomi, dan Iptek terbatas sekali. Sudah begitu, mereka melakukan dakwah dengan
cara-cara yang kurang bijak. Malah tidak sedikit yang hantam kromo dan
konfrontatif, kata KH. Achmad Sjaichu dalam peresmian Ittihadul Muballighin
tahun 1978. Dengan mendirikan pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin memback up
kemampuan dan wawasan kader da’i yang di anggap masih pas-pasan.
Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh
pesantren sebenarnya tidaklah terlalu mengganggu pikirannya. Yang justru ikut
membakar semangatnya untuk mendirikan pesantren adalah sang istri (almarhumah)
Ny. Hj. Solchah. Rupanya, keinginan yang serupa juga ada pada istrinya. Sebelum
wafat pada tanggal 24 Maret 1986, Hj. Solchah terus mendorong agar rencana
mendirikan pesantren itu segera diwujudkan. Inilah rupanya yang lebih mendorong
KH. Achmad Sjaichu untuk mendirikan pesantren.
Keinginan ada, kemampuan (ilmiah) ada, bekal juga ada. Lantas
apalagi yang menghalangi untuk mendirikan pesantren? Demikian kata hati kecil
KH. Achmad Sjaichu yang terus menggoda sejak awal tahun 1980.
Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren.
Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok dijual dengan
harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di Desa Rangkepanjaya, Pancoranmas
Depok itu pada tahun 1980 akhirnya dibeli. Di atas tanah ini, pesantren yang
menjadi idamannya dan idaman almarhumah istrinya didirikan.
Karena beberapa kesibukan, juga persiapan yang belum cukup, pembangunan
pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan
tokoh masyarakat, Menteri Agama RI saat itu H. Munawir Sjadzali meletakan batu
pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH. Achmad Sjaichu pesantren itu
diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Chamid.
Sebenarnya, rencana mendirikan pesantren itu juga merupakan hasil
pergumulan pemikiran KH. Achmad Sjaichu tentang masalah kelangsungan dan
pewarisan khasanah kekyaiannya. Sebagai seorang ulama yang merasa sudah mulai
uzur, ada keinginan untuk mempersiapkan calon pengganti. Dia menginginkan ada
di antara puteranya yang mengikuti jejaknya sebagai Kyai. Suatu keinginan yang
wajar dan mulia. Siapa?
Saat itu, putera lelaki tertua, Imam Susanto adalah tamatan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan sudah terlanjur menjadi dokter
spesialis bedah. Adiknya Mochammad Sutjahyo menjadi insyinyur sipil dari
Universitas Trisakti. Sedangkan putera nomor empat, Zainul Mujahidin lebih
tertarik menjadi wiraswastawan.
Kedelapan putera-puteri KH. Achmad Sjaichu yang masih hidup (dua
orang meninggal ketika masih bayi) tergolong berhasil dalam pendidikannya. Tetapi
semuanya produk lembaga pendidikan umum. Puteri sulungnya, Mariyam Chairiyah
lulusan FISIP Universitas Indonesia jurusan Kesejahteraan Sosial. Mariam
Chairiyah ini di ambil menantu oleh Menteri Agama RI periode 1962-1966 (KH.
Saifuddin Zuhri, Almarhum) untuk putera tertuanya Dr. H. Fahmi Saifuddin, M.Ph
(Almarhum). Puteri nomor lima, Rachmawati (almarhumah) lulusan Universitas
Trisakti dan UIN Jakarta. Adiknya, Zubaidah, lulusan Fakultas Ekonomi
Universitas Jayabaya. Sedangkan Farida, puteri nomor tujuh lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanegara.
Pilihan lalu jatuh pada putera bungsunya, Achmad Fauzi. KH. Achmad
Sjaichu ingin membangun pesantren yang kelak akan di asuh oleh anaknya. Lulus
dari SMP, Fauzi langsung dikirim ke pesantren Darul Rahman pimpinan KH. Syukron
Makmun.
Bahkan sebelum itu, setiap menghadiri acara pengajian dan dakwah
di berbagai tempat, Fauzi sering di ajak oleh KH. Achmad Sjaichu. Ketika masih
aktif, KH. achmad Sjaichu memang punya kebiasaan mengajak putera-puterinya
dalam kesempatan menghadiri undangan ceramah atau kegiatan lain, baik di dalam
maupun di luar negeri. Tetapi, sebagai putera yang diproyeksikan untuk
menggantikan kedudukannya, Fauzi terhitung paling sering diajak dalam kegiatan
dakwah, dibanding dengan putera-puteri yang lain. Secara psikologis, sejak
kecil Fauzi sudah dipersiapkan untuk mengadaptasi dunia dakwah dan pesantren.
Kepada beberapa kyai, KH. achmad Sjaichu minta bantuan doa agar sang putera
kelak bisa meneruskan kiprah perjuangnya sebagai ulama.
Toh akhirnya KH. Achmad Sjaichu harus tunduk juga dengan ketentuan
manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Setelah lima tahun belajar di
Pesantren, Fauzi merasa tak kuat lagi meneruskan pendidikannya dan memenuhi
keinginan sang ayah. Padahal selama lima tahun itu, ia sudah mendapat bekal
ilmu pengetahuan agama yang cukup dan sangat berharga baginya. Fauzi
berubah haluan, ia sekolah di SMA setelah lima tahun berada di pesantren. Kini
ia adalah lulusan Fakultas Tehnik Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rencana untuk mendirikan tak
surut. KH. Achmad Sjaichu juga tak ingin memaksakan kehendaknya agar sang
putera bersedia menjadi Kyai. Suatu sikap moderat KH. Achmad Sjaichu yang sejak
dulu diterapkan dalam mendidik putera-puterinya.
Kalau anak-anak memang tidak berbakat menjadi kyai dan mengasuh
pesantren, mengapa tidak saya saja yang mengasuh pesantren? Lagi pula, saya
juga mampu dan ingin mengamalkan ilmu yang saya miliki, pikir KH. Achmad
Sjaichu ketika menghadapi problem itu.
Tahun 1987 mulai dilaksanakan pembangunan pesantren. Pembangunan
ditangani langsung oleh para putera dan menantunya (Dr. Fahmi). Bangunan fisik
pesantren dirancang sendiri oleh Ir. H. Moch. Sutjahyo, Putera ketiga KH.
Achmad Sjaichu. Selang delapan bulan, tepatnya tanggal 17 Juli 1988, pesantren
mulai dibuka dan menerima santri. Di luar dugaan, ternyata banyak remaja di
sekitar Depok dan Jakarta yang datang mendaftar sebagai santri. Pada tahun
kedua, sudah mulai ada santri yang datang dari daerah lain di luar Depok dan
Jakarta.
Hidup di lingkungan pesantren yang jauh dari polusi udara Jakarta
dan berada di tengah-tengah santri sungguh merupakan kenyamanan tersendiri bagi
KH. Achmad Sjaichu. Ia benar-benar merasa memperoleh ketenangan batin berada di
lingkungan pesantren dan di tengah-tengah ratusan santrinya. Suatu kondisi yang
tak pernah dialami selama ia di Jakarta. Lebih-lebih ketika masih sibuk dengan
urusan politik.
Tahun 1989, karena merasa mendapatkan kesejukan rohani, ia
memutuskan untuk hijrah dari kediamannya yang lama di daerah Slipi, Jakarta
Barat ke rumah baru yang dibangun di komplek pesantren. Berada di lingkungan
baru, kesehatan KH. Achmad Sjaichu yang sebelumnya sering terganggu mulai
normal kembali.
Setahun sebelum KH. Achmad Sjaichu mendirikan pesantren, ia jatuh
sakit karena kelebihan kadar gula yang cukup serius. Praktis sejak itu ia
menghentikan aktivitasnya yang berat-berat, terutama kesibukannya memberi
pengajian di luar. Dia merasa memperoleh obat dengan hidup di lingkungan
pesantren.
Gelar Kyai yang sejak lama disandang, kini benar-benar bermakna
riil bagi KH. Achmad Sjaichu, juga bagi para santrinya. Setiap Rabu malam, ia
membacakan kitab al-Adzkar dan Fath al-Mu’in. Pada
hari ahad pagi, ia membacakan kitab al-Ahkam al-Shulthoniyah. Ketiga kitab itu, hanya
diperuntukan bagi para guru Al-Hamidiyah.
Irama kehidupan KH. Achmad Sjaichu kini makin didominasi oleh
nuansa agama. Kegiatan rutin lain di samping mengajar kitab, adalah membaca
al-Qur’an. Hampir setiap minggu sekali, ia menghatamkan al-Qur’an 30 juz.
Babak pertama dari upayanya untuk merealisasikan cita-cita
mendirikan pesantren sudah terpenuhi. Kini ada babak kedua yang akan segera
dimasuki, menyusul berdirinya pesantren. Saya ingin mendirikan Sekolah Tinggi
Hukum Islam dan Dakwah di komplek Pesantren. Itu termasuk cita-cita lama saya
yang belum kesampaian, ujarnya. Cita-cita itu akhirnya terwujud, kini di dalam
lingkungan pesantren telah ada unit Sekolah Tinggi Agama Islam, walaupun
pemanfaatan gedungnya masih bersama dengan pesantren.
Sebagai refleksi dari rasa kesyukurannya, KH. Achmad Sjaichu
menyatakan keinginannya, jika nanti dipanggil oleh Yang Maha Kuasa untuk
selama-lamanya, ia ingin dimakamkan di komplek pesantren. Dunia pesantren
adalah tempat awal di mana ia menempa dirinya sebagai seorang Sjaichu. Meskipun
pernah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan
pesantren Al-Hidayah Lasem, pesantren bukan menjadi dunia yang asing baginya.
Setelah ia kenyang dengan dinamika kehidupan yang harus dilakoni sebagai
seorang tokoh pada zamannya, ia ingin kembali ke dunia pesantren.
KH. Achmad Sjaichu ingin benar-benar kembali ke pesantren bukan
hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga kembali beserta jiwa raganya. Kembali
ke pesantren, kembali ke tempat yang damai.
Gusti
Rolie M Abadi
Alumni 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar