Kamis, Agustus 22, 2013

Mengenal dan Mengenang Alm. KH. Achmad Sjaichu



Siapakah KH. Achmad Sjaichu dan Apa perannya ?

KH. Achmad Sjaichu dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada hari Selasa Wage, 29 Juni 1921. Beliau putra bungsu dari dua bersaudara putra pasangan H. Abdul Chamid dan Ny. Hj. Fatimah. Pada usia 2 tahun Sjaichu sudah yatim, ditinggal wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Achmad Sjaichu bersama kakaknya , Achmad Rifa’i, diasuh oleh ibunya dengan tekun dan tabah. Untuk memperoleh pendidikan agama, Sjaichu belajar kepada K. Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun Sjaichu sudah menghatamkan Al-Qur’an 30 Juz.
Selain belajar agama, Sjaichu juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mardi Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Tak lama belajar di sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, Sjaichu dipindah ke Madrasah Taswirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan Achyat. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama.
Untuk membantu meringankan beban ibunya yang harus menghidupi putra-putranya, setelah H. Abdul Manan wafat, pada usia kanak-kanak Sjaichu sudah sudah mulai bekerja di perusahaan sepatu milik Pak Denya, Mohammad Zein bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.
Sjaichu kembali kebangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja dan memiliki bekal yang relatif cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan, sebuah lembaga pendidikan yang juga didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Sambil belajar, Sjaichu kembali bekerja pada seorang tukang jahit kenamaan di Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul Wathan ia dibimbing seorang guru yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangan Sjaichu, yaitu KH. Abdullah Ubaid. Selain itu ia juga berguru kepada KH. Ghufron untuk belajar ilmu Fiqh.
Tahun 1937, setamat Sjaichu dari Nahdlatul Wathan, Ny. Fatimah yang sudah dua kali menjanda diperistri seorang ulama besar yang juga pendiri Nahdlatul Wathan, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah. Di bawah bimbingan ayah tirinya itulah Sjaichu berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya mulai tumbuh.
Sekolah sambil bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda Sjaichu. Setamat dari Nadlatul Wathan, Sjaichu kembali bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut. Selama bekerja dibengkel itu, ia melakukan kegiatan dakwah di lingkungan kawan-kawan sekerja.
Setahun kemudian, 1938, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan Sjaichu ke Pesantren Al-Hidayah, Lasem asuhan KH. Ma’shum. Selama di pesantren ini, pemuda Sjaichu menjadi santri kesayangan Mbah Ma’sum. Sesudah 3 tahun belajar di Lasem, Sjaichu terpaksa harus boyong ke Surabaya, karena ia terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.
Pada tanggal 5 Januari 1945, pada usia 24 tahun, Sjaichu mempersunting Solchah, putri Mohamad Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling yang pernah menjadi majikannya. Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry sepatu di rumahnya, dengan 15 orang karyawan. Sjaichu sendiri yang memasarkan ke seantero Surabaya. Sambil berdagang, ia juga aktif mengajar bahasa Arab dan Inggris kepada beberapa pemuda yang sering datang ke rumahnya. Dari Ny. Solchah, KH. Achmad Sjaichu dikaruniai 10 putra-putri, 2 diantaranya meninggal ketika masih bayi. Kedelapan putra-putri yang ada, yaitu Ny. Mariyam Chairiyah, Imam Susanto, Mohamad Sucahyo, Zainul Mujahidin, Rachmawati, Zubaidah, Faridah, dan Achmad Fauzi.
Ketika terjadi penyerbuan tentara sekutu ke kota Surabaya, ia bersama istrinya mengungsi ke Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman, ia pulang ke kota kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di Madrasah NU. Di samping mengajar, ia juga menjadi ketua ranting NU Karang Menjangan. Itulah awal mula Sjaichu mulai terlibat di organisasi NU. Pada kepengurusan NU cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah), bersama KH. Thohir Bakri, KH. Thohir Syamsuddin dan KH. A. Fattah Yasin. Karier sjaichu di organisasi terus menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya.
Awal tahun 1950-an ia mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah dan bekerja di Kantor Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala. Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya.
Pada tahun 1953, Sjaichu terpilih menjadi ketua LAPANU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958 ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi NU. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak ia menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya KH. Achmad Sjaichu mencapai puncak karier di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU sendiri KH. Achmad Sjaichu pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai tahun 1979 (ketika berlangsung Muktamar NU di Semarang).
Kepemimpinan dan ketokohan KH. Achmad Sjaichu tidak hanya diakui secara nasional, melainkan juga sampai ke level internasional. Pengakuan itu terbukti dengan dipilihnya KH. Achmad Sjaichu sebagai presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam konferensinya yang pertama di Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965. KH. Achmad Sjaichu yang di kenal sebagai pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil mengembangkan misi dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam pentas politik internasional.
Sekian lama KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia politik, tak menyurutkan perhatian dan minatnya dalam dunia dakwah Islamiyah. Malahan semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah yang dijadikan motivasi dalam keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, KH. Achmad Sjaichu mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul Muballighin. Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan KH. Achmad Sjaichu menuju terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren. Dan Pesantren Al-Hamidiyah yang kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi bisu yang menunjukkan betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH. Achmad Sjaichu. Dari pesantren juga berakhir di pesantren
Masa Sekolah
Achmad Sjaichu mula-mula di sekolahkan di sekolah Mardi Oetomo, kemudian pindah ke Madrasah Taswirul Afkar yaitu sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan Achyat. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai embrio NU setelah Nahdlatul Wathan di Kawatan, Surabaya. Sjaichu belajar di sekolah ini hingga tamat, tahun 1934.
Masa remaja Sjaichu memang unik. Tamat dari Nahdlatul Wathan, Sjaichu melamar bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut Republik Indonesia di Surabaya. Bengkel ini melakukan pekerjaan dan menangani kapal perang milik Angkatan Laut. Sjaichu diterima bekerja di bagian listrik. Sambil bekerja, Sjaichu mulai melakukan dakwah kepada teman sekerja. Beberapa karyawan bengkel Marina mendapat bimbingan shalat dan pelajaran dasar agama Islam dari Sjaichu. Karena itu ia disenangi kawan-kawan sekerjanya. Tak lama Sjaichu bekerja di bengkel milik Angkatan Laut itu, Sjaichu keluar.
Suatu ketika ia mengalami pengalaman spiritual yang tak bisa dilupakan. Pada saat itu di siang hari, ketika tidur-tiduran di rumah, Sjaichu bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad sallallahu’alaihiwa sallam di Masjid Ampel. Nabi Muhammad, dalam gambaran mimpinya mengambil selembar tikar dan menyerahkan kepada Sjaichu. Setelah tikar diterima, Sjaichu membentangkan tikar tersebut di depannya, dan Rasulullah naik ke mimbar menyampaikan khutbah. Saat itulah Sjaichu terjaga dari tidurnya.
Pengalaman mimpinya diceritakan kepada ayah tirinya, KH. Wahab Chasbullah. Kepada ayahnya itu ia juga minta izin untuk berhenti bekerja dari bengkel Marina. Saya ingin belajar dan mengaji lagi untuk memperdalam pengetahuan agama, Ayah, kata Sjaichu memohon.K.H. Wahab menyetujui dan menyarankan agar ia mondok ke Lasem, berguru kepada K.H. Ma’shum yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Ma’shum.
Tahun 1938 Sjaichu dikirim ke Pondok Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang dan langsung diterima dengan tangan terbuka oleh Mbah Ma’shum (Almaghfurlahu). Mbah ma’shum merasa mendapat titipan dari orang yang selama ini disegani, KH. Abdul Wahab Chasbullah.
Selama nyantri di Pesantren Al-Hidayah, Sjaichu tergolong santri yang disayang Mbah Ma’shum. Bukan hanya karena ia putera tirinya KH. Wahab Chasbullah, tetapi kesungguhan belajar dan penampilan Sjaichu yang kalem namun meyakinkan itu, berhasil menarik perhatian khusus gurunya. Ketika para santri memilih Lurah Pondok (mungkin sekarang semacam ketua Osis, red), Sjaichu menjadi santri yang dipilih. Disinilah sosok kepemimpinan sjaichu mulai tampak. Sjaichu merasa beruntung sekali menjadi santrinya Mbah Ma’shum saat itu. Ke mana gurunya pergi, Sjaichu diajak serta. Shalat, merupakan tema yang memperoleh perhatian dan tekanan tersendiri bagi Mbah Ma’shum dalam setiap ceramahnya. Kaum muslimin bisa memperoleh kehidupan dengan baik dan maju, jika menjalani kehidupan berlandaskan shalat yang dilaksanakan secara disiplin. Pernyataan itu sering disampaikan Mbah Ma’shum dalam ceramahnya.
Karir
a.       Merintis Home Industri Sepatu
Selesai mondok dari Lasem, Sjaichu mulai terlihat arif dan penuh semangat untuk berjuang li’ilai kalimatillah hiyal ulya. Sambil mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan menjadi guru, Sjaichu membuka usaha toko sepatu di Kedung Rukem, sebelah selatan Pasar Blawuran. Sebagai modal awal, ia mendapat pinjaman dari kakeknya, H. Fadlun. Toko sepatu yang dirintis itu berkembang dengan pesat. Sepatu-sepatu yang dijual adalah produksi sendiri, yang dikerjakan Sjaichu bersama-sama karyawannya. Dulu, sebelum berangkat ke pesantren, ia pernah belajar membuat sepatu, juga belajar menjahit.
Pada 5 Januari 1945, dalam usia 24 tahun, Sjaichu mempersunting gadis dari Kedung Tarukan, Pacar Keling, Surabaya. Gadis itu Solchah, adalah puteri Muhammad Yasin, penjahit kondang di Pacar Keling, bekas majikannya dahulu. Bersama Solchah, Sjaichu mengembangkan Home Industri sepatunya. Ada sekitar 15 karyawan bekerja membantu usahanya. Sedang Sjaichu, selain ikut bekerja secara teknis, juga tak henti-hentinya berusaha membuka akses pasar, khususnya di wilayah Surabaya.
Usaha dagang sepatu agaknya bukan tujuan utamanya. Pekerjaan itu hanya berfungsi sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Tradisi  musafir pencari ilmu di Pesantren tetap saja berkobar di benak Sjaichu. Di sela-sela kesibukannya berdagang sepatu, ia menyempatkan diri mengajar bahasa Arab dan bahasa Inggris kepada pemuda-pemuda Surabaya yang rajin datang ke rumahnya. Kursus bahasa ini masih juga dikenang oleh banyak orang di Surabaya.
b.      Mendirikan PGPS di Bangil
Ketika Surabaya mulai berkecamuk, terutama menjelang pertempuran 10 November 1945, nama Sjaichu memang tak dikenal di kalangan Laskar Hizbullah atau Barisan Sabilillah. Namun, saat itu Sjaichu bergabung dengan pemuda Surabaya.
Ketika Surabaya bergejolak dan terjadi agresi militer Belanda pada tahun 1947, pemuda Surabaya banyak yang hijrah ke daerah lain, termasuk Sjaichu. Waktu itu, Sjaichu mengungsi ke Waru, Sidoarjo bersama istrinya, Solchah yang sedang hamil 7 bulan untuk puteri pertamanya. Selama di sana, ia ditampung di rumah pak Abdullah, kenalannya yang menjadi pemasok kulit kambing dan sapi ketika Sjaichu membuat dan berdagang sepatu. Baru beberapa saat di Waru, Belanda sudah merambah dan menghujani kota itu dengan bom dan meriam. Terpaksa Sjaichu mundur lagi, dan bersama istrinya yang hamil tua menuju Bangil, Pasuruan.
Sesampainya di Bangil, Sjaichu berjumpa dengan Farchan Ali, pemuda pemberani asal Boto Putih, Surabaya. Mula-mula ia bergabung ke dalam Barisan Pemuda Surabaya (BPS). Bersama Farchan Ali, Sjaichu mengadakan pertemuan intensif dengan beberapa pemuda lain yang berada di Bangil. Atas prakarsa mereka berdua, dibentuklah Persatuan Gabungan Perjuangan Surabaya (PGPS) yang bermarkas di Bangil. Farchan ditunjuk sebagai ketuanya, sedangkan Sjaichu sebagai wakilnya. Dibentuknya PGPS ini bertujuan untuk mengkoordinasi pemberian bantuan tenaga terlatih yang siap berjuang dan bertempur di Surabaya.
Kegiatan PGPS yang sesungguhnya waktu itu adalah latihan ala militer bagi pemuda pejuang yang akan bergabung ke dalam barisan tentara militer. Pada sore dan malam hari, mereka dilatih baris berbaris dan cara menggunakan senjata. Mereka digabungkan ke dalam tentara nasional yang berpusat di Mojosari, Mojokerto, di bawah komando Mayor Isa Idris (almarhum) dari divisi Brawijaya.
Pada bulan Juli 1947, setelah bergerak selama satu setengah tahun, PGPS dibubarkan karena kota Bangil diserbu tentara Belanda. Anggota PGPS banyak yang ditangkap, sebagian ditawan, dan sebagian lagi ditembak mati oleh Belanda.  Ketika berada dalam pengungsian di Bangil, tanggal 2 Februari 1946, lahirlah puteri pertama Sjaichu-Solchah, seorang bayi mungil yang cantik. Puteri itu diberi nama Maryam Chairiyah.
c.       Mulai dari Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Karang Menjangan
Tahun 1948, situasi kota Surabaya sudah benar-benar aman.Sekembalinya dari tempat pengungsian, Sjaichu mengajar selama dua tahun di Madrasah NU yang didirikan oleh KH. Romli di Karang Menjangan. Cita-cita menjadi seorang tokoh dan pemimpin mulai jelas sejak ia mengabdikan diri menjadi guru di Madrasah NU. Saya ingin menjadi tokoh, saya ingin memimpin, pikirnya menerawang. Sejak itu, Sjaichu mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan NU. Pengalaman memimpin organisasi NU dimulai dari bawah sekali. Mula-mula ia menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan, suatu jabatan struktur paling bawah dalam NU.
Memasuki tahun 1950, sambil aktif di organisasi, Sjaichu mendaftarkan diri untuk menjadi pegawai pemerintah. Ia diterima di kantor Pengadilan Agama Surabaya dan menjabat sebagai Wakil Kepala. Hanya setahun bekerja di Pengadilan Agama, tugasnya dipindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya. Di sini ia bekerja hingga tahun 1953. Setelah itu ia ditarik ke kantor Departemen Agama Wilayah di bagian kepenghuluan samapai tahun 1956.  Disamping menjadi pegawai Departemen Agama, Sjaichu tetap aktif di organisasi.
Karir Sjaichu di organisasi rupanya meningkat cukup cepat. Dalam waktu relatif singkat, nama Sjaichu mulai dikenal dikalangan tokoh-tokoh NU Surabaya.  Pada periodeisasi NU Surabaya tahun 1948 1950, Sjaichu terpilih sebagai Ketua Umum Konferensi, yang bertugas khusus merancang penyelenggaraan konferensi. Selain itu, ia juga terpilih sebagai salah satu Ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah). Sederat dengan nama KH. Thohir Bakri, KH. Thohir Sjamsuddin, dan KH. A. Fattah Jasin.
Masih segar dalam ingatan warga NU Surabaya, bahwa pada Konferensi II NU Cabang Surabaya, tanggal 16-17 Desember 1950, tokoh muda NU, Achmad Sjaichu tampil di depan podium (sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan NU), menguraikan perjalanan NU Cabang Surabaya. Di sinilah nama Sjaichu mulai dikenal di kalangan luas, terutama kalangan warga NU. Pada tahun itu pula, Sjaichu ditunjuk sebagai anggota DPRDS Kota Besar Surabaya. Karir Sjaichu sebagai politisi, dirintis dari sini.
Nama Sjaichu kian populer. Setelah NU berpisah dari Masyumi dan berdiri sebagai parpol, ketokohan Sjaichu semakin mencuat. Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai Ketua LAPANU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Berarti, Sjaichu sudah meninggalkan kepengurusan Cabang Surabaya dan mulai naik ke tingkat Provinsi.
Sebagai ketua LAPANU, peran Sjaichu semakin luas dan strategis. Bukan saja harus berhubungan dengan Pemerintah Daerah, melainkan juga berhubungan dengan pengurus NU di Ibu Kota. Hampir semua tokoh NU di Jawa Timur kala itu hanya mengenal Sjiachu sebagai pemimpin NU.
d.       Menjadi Ketua DPRGR RI
Menjelang Pemilu pertama, tanggal 29 September 1955, seluruh kontestan sibuk melaksanakan kampanye.  Achmad Sjaichu sebagai ketua LAPANU tak henti-hentinya berkeliling daerah mengadakan kampanye. Dan benar, hasil pemilu 1955 cukup mengejutkan, partai NU dinyatakan sukses dan keluar sebagai the big four.
Nama Sjaichu kala itu tercantum sebagai calon anggota DPR (bersama Abdul Aziz Diyar) dari daerah pemilihan Jawa Timur. Karena terpilih sebagai anggota DPR, pada awal tahun 1956, Sjaichu resmi pindah ke Jakarta.
Di Jakarta karir politiknya kian melangit, dan pada rapat fraksi NU tanggal 25 November 1958, Achmad Sjaichu terpilih sebagai Ketua Fraksi NU dalam DPR RI periode 1958-1960. Selama di Jakarta dan menjadi anggota DPR RI, Achmad Sjaichu telah “mengaji politik lewat kejadian-kejadian penting, mulai dari pembentukan kabinet setelah pemilu, sampai ke soal sidang Konstituante.
Bagi Sjaichu, dari pemilu 1955 inilah ia akhirnya naik ke pentas politik nasional. Sebab, sejak itulah ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari partai NU. Dari anggota DPR inilah ia akhirnya bisa dengan lancar menapakkan karir politiknya di parlemen Indonesia.  Misalnya, setahun setelah menjadi anggopta DPR, ia pun segera naik menjadi Ketua Fraksi NU di tahun 1957. Bahkan Achmad Sjaichu akhirnya sampai meraih puncak karir di parlemen, setelah ia terpilih menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966, setelah 15 tahun berkecimpung di DPR.
e.      Sebagai Ketua PBNU, anggota Rabithah Alam Islamy, dan anggota Dewan Masjid se Dunia
Sebagai anak tiri pendiri NU, Achmad Sjaichu banyak mendapat kemudahan dalam karirnya kemudian. Pada tahun 1950, ia terpilih menjadi anggota dewan kota Surabaya, pada tahun 1955 menjadi anggota parlemen nasional sebagai wakil NU Jawa Timur. Memimpin kelompok NU di perlemen selama tahun 1958-1960, ia terpilih menjadi wakil ketua parlemen dari tahun 1963-1966. Kemudian ia dipilih kembali menjadi anggota parlemen dalam pemilu tahun 1971.
Pertama kali menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU pada tahun 1957, dan dari tahun 1977-1979 menjabat sebagai Ketua PBNU. Setelah mengundurkan diri dari politik, H. Achmad Sjaichu beralih ke aktivitas-aktivitas dakwah, melalui sebuah organisasi baru, Ittihadul Mubalighin yang didirikan pada tahun 1978, dan sejak saat itu dia menjadi ketuanya.
Dari semua politisi NU, tidak diragukan lagi H. Achmad Sjaichu adalah orang yang mempunyai kontak internasional dengan dunia muslim. Ia lama menjabat sebagai birokrat internasional. Dialah yang mengambil prakarsa mengorganisir Konferensi Islam Asia Afrika, yang akhirnya diselenggarakan pada tahun 1965, dia juga menjadi Presiden Organisasi Islam Asia-Afrika yang lahir dari konferensi tersebut dan terus berlanjut pada tahun 1973. Sejak saat itu H. Achmad Sjaichu aktif dalam organisasi Rabithah al-Alam al-Islami (Liga dunia Islam) dan Dewan Tertinggi Masjid Dunia di Makkah.
f.        Membangun Solidaritas Umat di Kawasan Asia Afrika
Mempersatukan umat di kawasan Asia “Afrika?Kenapa tidak, pikir H. Achmad Sjaichu. Pikiran itu terus menggodanya sejak berlangsung Konferensi Asia-Afrika di Bandung, tanggal 18-25 April 1955.  Mempersatukan umat Islam Asia-Afrika bukan dalam pengertian politik, melainkan dalam himmah, dalam solidaritas, atau ukhuwah Islamiyah.
Pikiran semacam itu memang bukan hanya monopili H. Achmad Sjaichu. Beberapa tokoh Islam lain juga punya gagasan yang sama. Mereka sama-sama mendambakan bangkitnya persatuan umat Islam, setelah sekian lama dunia Islam hidup di bawah kekuasaan koloni. Imperalisme dan kolonialisme merupakan dua kata dan tragedi dunia yang dirasakan amat menyayat hati bangsa-bangsa di beberapa negara berkembang saat itu. Pikiran H. Achmad Sjaichu mengenai persatuan umat Islam Asia-Afrika dalam dataran peta politik dalam negeri mendapat peluang bagus. Sebab, penggalangan solidaritas politik Asia-Afrika mendapat prioritas tinggi di dalam politik luar negeri Indonesia waktu itu.
Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung tahun 1955 rupanya menjadi tonggak penting bagi bangkitnya Islam di Indonesia dan negara-negara Islam di Asia-Afrika. Konferensi itu ikut mendekatkan ide H. Achmad Sjaichu menjadi kenyataan. Sebagaimana diketahui, konferensi Asia-Afrika merupakan embrio dari Konferensi Islam Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung tanggal 6-14 Maret 1965.
Melalui konferensi ini lahirlah Organisasi Islam Asia-Afrika (OIAA). H. Achmad Sjaichu dalam konferensi Islam Asia-Afrika dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal. Demikian pula ketika KIAA membentuk OIAA, Beliau dipilih sebagai Presiden Dewan Pusat OIAA dan dikukuhkan oleh Presiden Soekarno. H. Achmad Sjaichu sendiri tidak tahu mengapa ia yang dipilih sebagai Presiden OIAA. Tapi, menurut kawan seperjuangannya bahwa technical skill yang dibutuhkan bagi seorang yang memimpin organisasi level Internasional sudah dikantongi H. Achmad Sjaichu. Di samping kemampuan berbahasa asing, beliau juga dikenal pintar mengadakan lobbi.

g.       Mendirikan Ittihadul Muballighin
Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, sekitar 100 orang berkumpul di Pondok Pesantren At-Thahiriyah, Jakarta Selatan. Mereka ada yang datang dari Singapura, ada para muballigh yang berkumpul untuk mengadakan reuni.  Sjaichu ikut serta dalam pertemuan itu. Di akhir pertemuan, para muballigh yang hadir menyepakati dibentuknya sebuah lembaga dakwah independen yang diberi nama Ittihadul Muballighin (Persatuan para Muballigh). H. Achmad Sjaichu, sang pemberi nama tersebut ditunjuk secara aklamasi sebagai pemimpinnya.
Melalui Ittihadul Muballighin, H. Achmad Sjaichu bisa menyalurkan dua aspek sekaligus. Pertama, kebiasaan dan tradisi hidup dalam tatanan organisasi. Kedua, merealisasikan idenya untuk meningkatkan kualitas hidup ummat melalui kegiatan dakwah. Aspek yang terakhir ini merupakan obsesi lama yang tertunda oleh berbagai kesibukan politik H. Achmad Sjaichu.
Dunia dakwah bukan dunia baru sama sekali bagi H. Achmad Sjaichu. Kegiatan di OIAA dan aktivitas dalam organisasi internasional sebetulnya juga merupakan implementasi kegiatan dakwah, meskipun dalam skala makro dan tidak bersifat praktis, terlebih ketika di Nahdlatul Ulama (NU). Berbekal pengalaman organisasi selama di DPRGR, OIAA, maupun di NU, H. Achmad Sjaichu tidak mengalami kesulitan mengelola Ittihadul Muballighin. Beliau mendapat dukungan penuh dari kawan-kawannya yang berprofesi sebagai da’i untuk memimpin selama tiga periode.
Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan Sjaichu pada terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia pesantren.  Sebuah terminal yang tidak semua orang, lebih-lebih kaum politisi bisa menggapainya. Beliau menjadi seorang Kyai dengan ratusan santri.  Ia memangku Pesantren Al-Hamidiyah di Depok. Inilah maqom terakhir dari episode perjalanan hidup H. Achmad Sjaichu, sebuah akhir perjalanan panjang yang nyaman.
Kembali ke pesantren
Mendirikan pesantren untuk mengembangkan dakwah Islamiyah merupakan salah satu cita-cita luhur KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Sebagai orang yang sejak kecil hidup dan dididik di lingkungan pesantren, wajar saja jika KH. Achmad Sjaichu bercita-cita untuk mendirikan sekaligus mengasuh pesantren. Siapakah KH. Achmad Sjaichu, pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah ini ?
Nahdlatul Ulama (NU) Politik Dakwah, agaknya merupakan fase perjalanan hidup yang dilalui KH. Achmad Sjachu selama kurun waktu 1950 1980. Ittihadul Muballighin didirikan KH. Achmad Sjaichu untuk mengartikulasikan keinginannya yang besar dalam menangani kegiatan dakwah secara terkoordnasi, setelah ia tidak lagi sibuk dengan urusan organisasi dan politik. Berdirinya lembaga ini, mengawali fese ketiga, fase dakwah, dari kehidupan Sjaichu.
Kegiatan dakwah yang dikendalikan melalui Ittihadul Muballighin ini ternyata bukan merupakan fase terakhir yang dilalui KH. Achmad Sjaichu. Masih ada satu fase lagi, dan itu yang diharapkan KH. Achmad Sjaichu bisa menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya. Mendirikan pesantren, dan langsung menjadi pengasuh bagi banyak santri, itulah fase terakhir yang dimaksud. Sjaichu agaknya menginginkan gelar kiai yang selama ini menempel pada namanya benar-benar fungsional.
Cita-cita untuk mendirikan pesantren juga sejalan dengan sasaran dari kegiatan praktis dakwah yang dilaksanakan melalui Ittihadul Muballighin selama ini. Melalui pesantren, ia ingin mengkader dai yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu.
Para juru dakwah selama ini melakukan dakwah Islamiyah hanya dengan mengandalkan penguasaan ilmu agama saja. Wawasannya di bidang sosial, ekonomi, dan Iptek terbatas sekali. Sudah begitu, mereka melakukan dakwah dengan cara-cara yang kurang bijak. Malah tidak sedikit yang hantam kromo dan konfrontatif, kata KH. Achmad Sjaichu dalam peresmian Ittihadul Muballighin tahun 1978. Dengan mendirikan pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin memback up kemampuan dan wawasan kader da’i yang di anggap masih pas-pasan.
Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren sebenarnya tidaklah terlalu mengganggu pikirannya. Yang justru ikut membakar semangatnya untuk mendirikan pesantren adalah sang istri (almarhumah) Ny. Hj. Solchah. Rupanya, keinginan yang serupa juga ada pada istrinya. Sebelum wafat pada tanggal 24 Maret 1986, Hj. Solchah terus mendorong agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan. Inilah rupanya yang lebih mendorong KH. Achmad Sjaichu untuk mendirikan pesantren.
Keinginan ada, kemampuan (ilmiah) ada, bekal juga ada. Lantas apalagi yang menghalangi untuk mendirikan pesantren? Demikian kata hati kecil KH. Achmad Sjaichu yang terus menggoda sejak awal tahun 1980.
Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok dijual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di Desa Rangkepanjaya, Pancoranmas Depok itu pada tahun 1980 akhirnya dibeli. Di atas tanah ini, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman almarhumah istrinya didirikan.
Karena beberapa kesibukan, juga persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama RI saat itu H. Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH. Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Chamid.
Sebenarnya, rencana mendirikan pesantren itu juga merupakan hasil pergumulan pemikiran KH. Achmad Sjaichu tentang masalah kelangsungan dan pewarisan khasanah kekyaiannya. Sebagai seorang ulama yang merasa sudah mulai uzur, ada keinginan untuk mempersiapkan calon pengganti. Dia menginginkan ada di antara puteranya yang mengikuti jejaknya sebagai Kyai. Suatu keinginan yang wajar dan mulia. Siapa?
Saat itu, putera lelaki tertua, Imam Susanto adalah tamatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan sudah terlanjur menjadi dokter spesialis bedah. Adiknya Mochammad Sutjahyo menjadi insyinyur sipil dari Universitas Trisakti. Sedangkan putera nomor empat, Zainul Mujahidin lebih tertarik menjadi wiraswastawan.
Kedelapan putera-puteri KH. Achmad Sjaichu yang masih hidup (dua orang meninggal ketika masih bayi) tergolong berhasil dalam pendidikannya. Tetapi semuanya produk lembaga pendidikan umum. Puteri sulungnya, Mariyam Chairiyah lulusan FISIP Universitas Indonesia jurusan Kesejahteraan Sosial. Mariam Chairiyah ini di ambil menantu oleh Menteri Agama RI periode 1962-1966 (KH. Saifuddin Zuhri, Almarhum) untuk putera tertuanya Dr. H. Fahmi Saifuddin, M.Ph (Almarhum). Puteri nomor lima, Rachmawati (almarhumah) lulusan Universitas Trisakti dan UIN Jakarta. Adiknya, Zubaidah, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya. Sedangkan Farida, puteri nomor tujuh lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara.
Pilihan lalu jatuh pada putera bungsunya, Achmad Fauzi. KH. Achmad Sjaichu ingin membangun pesantren yang kelak akan di asuh oleh anaknya. Lulus dari SMP, Fauzi langsung dikirim ke pesantren Darul Rahman pimpinan KH. Syukron Makmun.
Bahkan sebelum itu, setiap menghadiri acara pengajian dan dakwah di berbagai tempat, Fauzi sering di ajak oleh KH. Achmad Sjaichu. Ketika masih aktif, KH. achmad Sjaichu memang punya kebiasaan mengajak putera-puterinya dalam kesempatan menghadiri undangan ceramah atau kegiatan lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi, sebagai putera yang diproyeksikan untuk menggantikan kedudukannya, Fauzi terhitung paling sering diajak dalam kegiatan dakwah, dibanding dengan putera-puteri yang lain. Secara psikologis, sejak kecil Fauzi sudah dipersiapkan untuk mengadaptasi dunia dakwah dan pesantren. Kepada beberapa kyai, KH. achmad Sjaichu minta bantuan doa agar sang putera kelak bisa meneruskan kiprah perjuangnya sebagai ulama.
Toh akhirnya KH. Achmad Sjaichu harus tunduk juga dengan ketentuan manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan. Setelah lima tahun belajar di Pesantren, Fauzi merasa tak kuat lagi meneruskan pendidikannya dan memenuhi keinginan sang ayah. Padahal selama lima tahun itu, ia sudah mendapat bekal ilmu pengetahuan agama yang cukup dan sangat berharga baginya.  Fauzi berubah haluan, ia sekolah di SMA setelah lima tahun berada di pesantren. Kini ia adalah lulusan Fakultas Tehnik Jurusan Arsitektur Universitas Trisakti.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rencana untuk mendirikan tak surut. KH. Achmad Sjaichu juga tak ingin memaksakan kehendaknya agar sang putera bersedia menjadi Kyai. Suatu sikap moderat KH. Achmad Sjaichu yang sejak dulu diterapkan dalam mendidik putera-puterinya.
Kalau anak-anak memang tidak berbakat menjadi kyai dan mengasuh pesantren, mengapa tidak saya saja yang mengasuh pesantren? Lagi pula, saya juga mampu dan ingin mengamalkan ilmu yang saya miliki, pikir KH. Achmad Sjaichu ketika menghadapi problem itu.
Tahun 1987 mulai dilaksanakan pembangunan pesantren. Pembangunan ditangani langsung oleh para putera dan menantunya (Dr. Fahmi). Bangunan fisik pesantren dirancang sendiri oleh Ir. H. Moch. Sutjahyo, Putera ketiga KH. Achmad Sjaichu. Selang delapan bulan, tepatnya tanggal 17 Juli 1988, pesantren mulai dibuka dan menerima santri. Di luar dugaan, ternyata banyak remaja di sekitar Depok dan Jakarta yang datang mendaftar sebagai santri. Pada tahun kedua, sudah mulai ada santri yang datang dari daerah lain di luar Depok dan Jakarta.
Hidup di lingkungan pesantren yang jauh dari polusi udara Jakarta dan berada di tengah-tengah santri sungguh merupakan kenyamanan tersendiri bagi KH. Achmad Sjaichu. Ia benar-benar merasa memperoleh ketenangan batin berada di lingkungan pesantren dan di tengah-tengah ratusan santrinya. Suatu kondisi yang tak pernah dialami selama ia di Jakarta. Lebih-lebih ketika masih sibuk dengan urusan politik.
Tahun 1989, karena merasa mendapatkan kesejukan rohani, ia memutuskan untuk hijrah dari kediamannya yang lama di daerah Slipi, Jakarta Barat ke rumah baru yang dibangun di komplek pesantren. Berada di lingkungan baru, kesehatan KH. Achmad Sjaichu yang sebelumnya sering terganggu mulai normal kembali.
Setahun sebelum KH. Achmad Sjaichu mendirikan pesantren, ia jatuh sakit karena kelebihan kadar gula yang cukup serius. Praktis sejak itu ia menghentikan aktivitasnya yang berat-berat, terutama kesibukannya memberi pengajian di luar. Dia merasa memperoleh obat dengan hidup di lingkungan pesantren.
Gelar Kyai yang sejak lama disandang, kini benar-benar bermakna riil bagi KH. Achmad Sjaichu, juga bagi para santrinya. Setiap Rabu malam, ia membacakan kitab al-Adzkar dan Fath al-Mu’in. Pada hari ahad pagi, ia membacakan kitab al-Ahkam al-Shulthoniyah. Ketiga kitab itu, hanya diperuntukan bagi para guru Al-Hamidiyah.
Irama kehidupan KH. Achmad Sjaichu kini makin didominasi oleh nuansa agama. Kegiatan rutin lain di samping mengajar kitab, adalah membaca al-Qur’an. Hampir setiap minggu sekali, ia menghatamkan al-Qur’an 30 juz.
Babak pertama dari upayanya untuk merealisasikan cita-cita mendirikan pesantren sudah terpenuhi. Kini ada babak kedua yang akan segera dimasuki, menyusul berdirinya pesantren. Saya ingin mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Islam dan Dakwah di komplek Pesantren. Itu termasuk cita-cita lama saya yang belum kesampaian, ujarnya. Cita-cita itu akhirnya terwujud, kini di dalam lingkungan pesantren telah ada unit Sekolah Tinggi Agama Islam, walaupun pemanfaatan gedungnya masih bersama dengan pesantren.
Sebagai refleksi dari rasa kesyukurannya, KH. Achmad Sjaichu menyatakan keinginannya, jika nanti dipanggil oleh Yang Maha Kuasa untuk selama-lamanya, ia ingin dimakamkan di komplek pesantren. Dunia pesantren adalah tempat awal di mana ia menempa dirinya sebagai seorang Sjaichu. Meskipun pernah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren Al-Hidayah Lasem, pesantren bukan menjadi dunia yang asing baginya. Setelah ia kenyang dengan dinamika kehidupan yang harus dilakoni sebagai seorang tokoh pada zamannya, ia ingin kembali ke dunia pesantren.
KH. Achmad Sjaichu ingin benar-benar kembali ke pesantren bukan hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga kembali beserta jiwa raganya. Kembali ke pesantren, kembali ke tempat yang damai.

Gusti Rolie M Abadi
Alumni 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar